Sabtu, 23 Oktober 2010

ZINA

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya:

Tidak diragukan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar. Dan diantara penyebab terjerumusnya seseorang kedalam kenistaan ini ialah rendahnya iman dan moral masyarakat, serta praktek obral aurat dengan murah, terutama dari kaum wanita.

Diantara faktor yang menyuburkan perilaku hina ini ialah merajalelanya pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan. Banyak dari kita yang berhati dingin tanpa takut dosa, mengumbar seluruh indranya untuk menikmati sesuatu yang tidak halal baginya. Perilaku ini sering kali menjadi langkah pertama begi terjerumusnya seseorang kedalam perbuatan nista ini. Oleh karena itu, jauh-jauh hari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wassalam telah memperingatkan kita dari berbagai perangkap perzinaan ini

(قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ)
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakan kepada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami atau ayah, atau ayah suami atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara laki-laki atau putra-putra saudara laki-laki atau putra-putra saudari perempuan mereka, atau wanita-wanita muslimah atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nur: 30-31)

Dan Rasulullah rjuga bersabda:
(كُتِبَ على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ)  متفق عليه
“Telah ditentukan atas setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk berzina itu atau menolaknya.” Muttafaqun ‘alaih

Para ulama’ menyatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam memulai dengan menyebutkan zina mata, karena zina mata adalah asal usul terjadinya zina tangan, lisan kaki, dan kemaluan[1] .
Oleh karena itu hendaknya kita senantiasa waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi perangkap-perangkap perzinaan diatas, agar tidak terjerumus kedalam kenistaan ini, Allah ta’ala:
)وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً(
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Al Isra’ 32
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya zina adalah piutang yang pasti anda tebus, dan tebusannya ada pada keluarga anda sendiri, dalam pepatah dinyatakan
عفوا تعف نساؤكم وأبناؤكم وبروا أباءكم يبركم أبناؤكم
Jagalah dirimu niscaya istri dan anakmu mu akan menjaga dirinya dan berbaktilah kepada orang tuamu, niscaya anakmu akan berbakti kepadamu.“[2]

Dan dalam pepatah arab lainnya dinyatakan:
الزنا دين قضاؤه في أهلك
“Perbuatan zina adalah suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu.”

Masing-masing dari kita seyogyanya bertanya kepada hati nurani masing-masing: Relakah kita bila anak gadis, atau saudara wanita atau ibu kita dizinai oleh orang lain? Bila tidak rela, maka janganlah berzina dengan anak atau seudara wanita atau ibu orang lain.
Dan bila anda telah tega menzinai anak atau saudara wanita atau ibu seseorang, maka semenjak itu ingatlah selalu bahwa pada suatu saat perbuatan yang serupa akan menimpa anak gadis anda atau saudara wanita anda atau bahkan ibu anda.
Oleh karena itu hendaknya anda senantiasa berpikir panjang bila tergoda setan untuk melakukan berzina, baik zina kemaluan atau zina pandangan atau lainnya. Sebagaimana pedihnya hukuman Allah di dunia dan akhirat senantiasa anda ingat, agar anda tidak mudah terjerembab ke dalam kenistaan ini.

Diantara bentuk hukuman yang diberikan oleh Islam kepada para pezina selain dicambuk ialah diharamkannya menikah dengan mereka hingga mereka bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:
}الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ { النور 26
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula) dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula).” (An Nur: 26)
Sebagian ulama’ ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini ada kaitannya dengan ayat ke-3 dari surat yang sama, yaitu firman Allah Ta’ala:
} الزَّانِي لا يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ {
“Lelaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An Nur: 3).

Sehingga penafsiran ayat ini menunjukkan bahwa lelaki yang tidak baik adalah pasangannya wanita yang tidak baik pula, dan sebaliknya wanita yang tidak baik adalah pasangannya orang yang tidak baik pula. Dan haram hukumnya bagi lelaki baik atau wanita baik untuk menikahi wanita atau lelaki yang tidak baik.[3]

Sebagian ulama’ menjabarkan penafsiran ini dengan lebih jelas lagi: Barang siapa yang menikahi wanita pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina. Dan orang yang meridhai perbuatan zina, maka seakan ia telah berzina. Bila seorang lelaki rela andai istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya untuk berbuat zina. Bila ia tidak cemburu ketika mengetahui istrinya berzina, maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa?! Dan wanita yang rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga rela dengan perbuatan tersebut. Barang siapa rela dengan perbuatan zina, maka ia seakan-akan telah berzina. Bila seorang wanita rela andai suaminya merasa tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun tidak puas dengan suaminya.

Oleh karena itu, orang yang terlanjur terjerumus kedalam kenistaan ini, hendaknya segera kembali kepada jalan yang benar. Hendaknya ia menyadari bahwa perbuatan zina telah meruntuhkan kehormatan dan jati dirinya. Sebagaimana hendaknya ia juga senantiasa waspada dari balasan Allah Ta’ala yang mungkin akan segera menimpa keluarganya.
Bila penyesalan dan rasa pilu telah menyelimuti sanubari, dan tekad untuk tidak mengulangi kenistaan ini telah menjadi bulat, istighfar kepada Allah senantiasa dipanjatkan. Bila berbagai jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali kedalam kenistaan ini, telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman Allah atas perbuatan ini dapat terhapuskan.

Mungkin ada yang bertanya: bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?
Ketahuilah saudaraklu, bahwa: Sahabat Ma’iz bin Malik t mengaku kepada, Rasulullah r bahwa ia telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah r memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala perajaman telah dimulai, dan sahabat Ma’iz merasakan pedihnya dirajam, iapun berusaha melarikan diri. Akan tetapi para sahabat yang merajamnya berusaha untuk mengejarnya dan merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah r dikabarai bahwa sahabat Ma’iz berusaha melarikan diri, beliau bersabda:
(هلا تركتموه لعله أن يتوب فيتوب الله عليه ) . أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة
“Tidahkah kalian tinggalkan dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah akan mengampuninya.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah.
Berdasarkan hadits ini dan juga lainnya para ulama’ menyatakan bahwa orang yang berzina taubatnya dapat diterima Allah, walaupun tidak ditegakkan padanya hukum dera atau rajam. Dinatara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah Ta’ala:
]وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا {68} يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا {69} إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا [
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah  (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat pembalasan atas dosanya. Yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari qiyamat dan ia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatannya diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Al Furqaan 68-70
Ibnu Katsir berkata: "Tafsiran kedua: bahwa kejelekan yang telah lalu dengan benar-benar bertaubat akan berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu karena setiap kali pelaku dosa teringat akan lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan  bertaubat/ memperbaharui penyesalannya. Dengan penafsiran demikian ini, dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari qiyamat. Walaupun dosa-dosa itu tetap saja tertuliskan atasnya, akan tetapi itu semua tidak membahayakannya. Bahkan itu akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits yang shohih, dan keterangan ulama' salaf."[4]

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak dari ulama’ yang berkredibilitas tinggi membolehkan kita untuk menikah dengan pezina yang benar-benar telah bertaubat.
Syeikh As Syinqithy berkata: “Ketahuilah bahwa menurutku pendapat ulama’ yang paling kuat adalah: bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan zina, menyesali perbuatan mereka, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, maka pernikahan mereka adalah sah. Sehingga seorang lelaki dibenarkan untuk menikahi wanita yang pernah ia zinahi setelah keduanya bertaubat. Sebagaimana dibolehkan bagi orang lain untuk menikahi mereka, tentunya setelah mereka bertaubat. Yang demikian itu karena orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak pernah melakukan dosa.”[5]

Bila pezina adalah seorang wanita, dan ia hamil dari hasil perzinaan itu, maka untuk dapat menikahinya disyaratkan hal lain, yaitu ia telah melahirkan anak yang ia kandung, sebagaimana ditegaskan pada fatwa Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut : “Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad nikah dengannya, hingga ia benar-benar  telah bertaubat dan telah selesai masa iddahnya.”[6]

Saudaraku, ketahuilah bahwa diantara perwujudan dari taubat kita dari perbuatan dosa ialah dengan tidak menceritakan perbuatan dosa kita kepada orang lain. Karena menceritakan lembaran kelam kepada orang lain merupakan pertanda akan lemahnya rasa malu, penyesalan dan rasa takut kepada Allah. Bahkan bisa saja perbuatan ini menjadi pertanda adanya kebanggaan dengan perbuatan nista tersebut. Simaklah sabda Rasulullah r berikut:
(كل أمتي معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل عملا بالليل ثم يصبح وقد ستره الله . فيقول : يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه ) . متفق عليه
“Setiap ummatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berterus-terang dalam bermaksiat. Dan diantara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah bila seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya, akan tetapi ia malah berkata: wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian. Padahal Tuhan-Nya telah menutupi perbuatannya, dan ia malah menyingkap tabir Allah dari dirinya.” Muttafaqun ‘Alaih. Dan pada hadits lain beliau bersabda:
(اجتنبوا هذه القاذورة التي نهى الله عز وجل عنها ، فمن ألم فليستتر بستر الله عز وجل ، فإنه من يبد لنا صفحته نقم عليه كتاب الله)
“Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan nista yang telah Alla Azza wa Jalla larang, dan barang siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah Azza wa Jalla, karena barang siapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya, maka kamipun akan menegakkan hukum Allah.” Riwayat Al Baihaqi dan dihasankan oleh Al Albani.
Berdasarkan dalil ini dan juga lainnya, para ulama’ menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang telah terjerumus ke dalam dosa, agar merahasiakan dosanya tersebut, dan tidak menceritakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya anda menceritakan masa lampau anda kepada siapapun termasuk kepada lelaki yang melamar anda. Terlebih-lebih bila anda benar-benar telah bertaubat, dan menyesali dosa anda. Karena yang wajib untuk diceritakan kepada pelamar anda adalah cacat atau hal-hal yang akan menghalangi atau mengurangi kesempurnaan hubungan suami istri.[7]Adapun perbuatan dosa, terlebih-lebih yang telah ditinggalkan dan disesali, maka tidak boleh diceritakan, karena siapakah dari kita yang tidak pernah berbuat dosa?

Pada kesempatan ini saya merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudaraku sekalian agar senantiasa menjadikan pasangan hidupnya sebagai cermin akan jati dirinya. Bila anda menjadi marah atau benci karena mengetahui ada kekurangan pada pasangan anda, maka ketahuilah bahwa andapun memiliki kekurangan yang serupa atau lainnya yang mungkin lebih besar dari kekurangannya. Dan bila anda merasa bahwa diri anda memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pasangan anda, maka ketahuilah bahwa iapun memiliki kelebihan yang tidak ada pada diri anda. Oleh karena itu jauh-jauh hari Nabi r berpesan kepada kita dengan sabdanya:
(لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مؤمنة إن كَرِهَ منها خُلُقًا رضى منها آخَرَ)
“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukmin, bila ia membenci suatu perangai darinya, niscaya ia suka dengan perangai yang lain.” Muslim.

Demikianlah seyogyanya seorang muslim bersikap dan berfikir, tidak sepantasnya kita bersifat egois, hanya suka menuntut, akan tetapi tidak menyadari akan kekurangan diri sendiri. Bila kita menuntut agar pada diri calon pasangan kita terdapat berbagai kriteria yang indah, maka ketahuilah bahwa calon pasangan kitapun memiliki berbagai impian tentang pasangan hidup yang ia dambakan. Karenanya, sebelum kita menuntut, terlebih dahulu wujudkanlah tuntutan kita pada diri kita sendiri, dengan demikian kita akan dapat berbuat adil dan tidak semena-mena dalam bersikap dan menentukan kriteria ideal calon pasangan hidup.
Semoga pemaparan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah Ta’ala mensucikan jiwa kita dari noda-noda kenistaan.  wallahu ta’ala a’alam bisshowab.

(oleh ust. Arifin badri,Lc,MA)

ISBAL (Pakaian panjang dibawah mata kaki)

Oleh: Abu Abdillah ad-Dariny
الحمد لله وكفى, والصلاة والسلام على رسوله المصطفى, وعلى آله وصحبه ومن اهتدى, أمابعد
1.    عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم  قال: ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم. قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم  ثلاث مرارا. قال أبو ذر: خابوا وخسروا من هم يا رسول الله؟ قال: المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب  (رواه مسلم)
Dari Abu Dzar, dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Ada tiga golongan, -yang pada hari kiamat nanti- Alloh  tidak bicara dengan mereka, tidak melihat mereka, tidak membersihkan (dosa) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih”. Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- mengulangi sabdanya itu tiga kali. Abu dzar mengatakan: “Sungguh celaka dan merugilah mereka! wahai Rasulullah, siapakah mereka?”. Beliau menjawab: “Orang yang isbal (dengan rasa sombong), orang yang mengungkit-ngungkit pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim)
2.     عن محمد بن عقيل سمعت ابن عمر يقول: كساني رسول الله صلى الله عليه وسلم قبطية،  وكسا أسامة حلة سيراء. قال: فنظر فرآني قد أسبلت فجاء فأخذ بمنكبي, وقال: يا ابن عمر! كل شيء مس الأرض من الثياب ففي النار. قال: فرأيت ابن عمر يتزر إلى نصف الساق (رواه أحمد وقال الأرناؤوط: صحيح لغيره وهذا إسناد حسن)
Dari muhammad bin ‘aqil aku mendengar ibnu umar bercerita: Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pernah memberiku baju qibtiyah[1] dan memberikan kepada usamah baju hullah siyaro[2]. Ibnu Umar mengatakan: ketika Nabi -shollallohu alaihi wasallam- melihatku isbal beliau datang dan memegang pundakku seraya berkata: “Wahai Ibnu Umar! semua pakaian yang menyentuh tanah, (nantinya) di neraka”. Ibnu Aqil berkata: “Dan (setelah itu) aku melihat Ibnu Umar selalu memakai sarungnya hingga pertengahan betis” (HR. Ahmad. al-Arnauth mengatakan: Derajat haditsnya shohih lighoirihi, sedang sanad ini hasan)
3.    عن عبد الرحمن بن يعقوب قال: سألت أبا سعيد الخدري عن الإزار, فقال: على الخبير سقطت! قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين, ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار, من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه. (رواه أبو داود وقال الألباني صحيح)
Dari Abdur Rahman bin Ya’qub berkata: aku pernah bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri tentang sarung, maka dia menjawab: “Kamu menepati orang yang tahu betul masalah ini! Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: ‘Sarung seorang muslim adalah sebatas pertengahan betis, dan tidak mengapa sarung yang berada antara batas tersebut hingga mata kaki. Adapun yang lebih rendah dari mata kaki, ia di neraka. Dan barangsiapa yang menyeret sarungnya karena takabur, maka Allah tidak akan mau melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti)”. (HR. Abu Dawud, dan Albany mengatakan: shohih)
4.    عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال في الإزار والقميص والعمامة, من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. (رواه أبو داود وغيره وقال الألباني صحيح)
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Isbal bisa terdapat pada sarung, baju ataupun sorban. Barangsiapa menyeret salah satu darinya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan mau melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Albany mengatakan: Hadits ini shohih)
5.    عن المغيرة بن شعبة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا سفيان بن سهل! لا تسبل, فإن الله لا يحب المسبلين! (رواه ابن ماجه وصححه الألباني)
Dari Mughiroh bin Syu’bah berkata: Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu isbal! Karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadap mereka yang isbal” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Albany)
6.    عن أبي جري جابر بن سليم الهجيمي قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: ارفع إزارك إلى نصف الساق, فإن أبيت فإلى الكعبين. وإياك وإسبال الإزار, فإنها من المخيلة, وإن الله لا يحب المخيلة. (رواه أبو داود وغيره  وصححه الألباني)
Dari Abu Jari, Jabir bin Sulaim al-Hujaimy: Bahwa Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- menasehatinya: “Angkatlah sarungmu sampai tengah betis! Tapi jika kau tidak berkenan, maka hingga batas mata kaki. Dan jangan sekali-kali meng-isbal-kan sarungmu! Karena isbal adalah termasuk perbuatan sombong, dan Allah tidak menyukai perbuatan sombong. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albany)
7.    عن جبير بن مطعم : أنه كان جالسا مع ابن عمر, إذا مر فتى شاب عليه حلة صنعانية يجرها مسبل قال : يا فتى هلم! قال له الفتى : ما حاجتك يا أبا عبد الرحمن؟ قال : ويحك أتحب أن ينظر الله إليك يوم القيامة؟ قال: سبحان الله وما يمنعني أن لا أحب ذلك؟ قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا ينظر الله إلى عبد يوم القيامة يجر إزاره خيلاء. قال : فلم ير ذلك الشاب إلا مشمّرا حتى مات بعد ذلك اليوم. (قال الألباني: رواه البيهقي بسند صحيح)
Jubair bin Muth’im mengisahkan: Dia pernah duduk bersama Ibnu Umar. Ketika ada seorang pemuda yang musbil berjalan dengan baju hullah shon’aniyah yang diseret, Ibnu Umar berkata: “Wahai pemuda, kemarilah!” Pemuda tersebut menimpali: “Apa yang engkau inginkan, wahai Abu Abdirrohman (panggilan kesayangan Ibnu Umar)?” (Ibnu Umar) menjawab: “Celakalah kamu! Tidak senangkah kau seandainya Allah melihat padamu di hari kiamat nanti?” Pemuda itu menimpali: “Subhanallah, adakah yang menghalangiku hingga aku tidak menyenanginya?!” Ibnu Umar berkata: Aku telah mendengar Rosulullah -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat kepada hamba yang menyeret sarungnya karena sombong”. Jubair bin Muth’im mengatakan: “Setelah hari itu, pemuda tersebut tidak pernah terlihat, kecuali ia mengangkat pakaiannya hingga pertengahan betis, sampai meninggalnya”. (Albany mengatakan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih)
8.    عن عمرو بن فلان الأنصاري قال : بينا هو يمشي وقد أسبل إزاره إذ لحقه رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد أخذ بناصية نفسه وهو يقول : ” اللهم عبدك وابن عبدك ابن أمتك ” قال عمرو : فقلت : يا رسول الله إني رجل حمش (دقيق) الساقين فقال : ” يا عمرو إن الله عز و جل قد أحسن كل شيء خلقه يا عمرو ” وضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم بأربع أصابع من كفه اليمنى تحت ركبة عمرو فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم ضرب بأربع أصابع تحت الموضع الأول ثم قال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم وضعها تحت الثانية فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” (رواه أحمد وصححه الألباني والأرناؤوط)
Amr bin Fulan al-Anshory mengisahkan dirinya: Ketika ia berjalan dengan meng-isbal-kan sarungnya, tiba-tiba Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- menghampirinya, dan beliau telah meletakkan tanganya pada permulaan kepala beliau seraya berkata: “Ya allah (lihatlah) hambamu, putra hamba laki-lakiMu dan putra hamba perempuanMu!”. ‘Amr beralasan: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku seorang yang betisnya kurus kering”. Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- menimpali: “Wahai ‘Amr, sesungguhnya Allah ta’ala telah menjadikan baik seluruh ciptaan-Nya!
Maka Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- meletakkan empat jari dari telapak kanannya tepat di bawah lututnya ‘Amr, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung”
Kemudian beliau mengangkat empat jarinya, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang pertama, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung”
Kemudian beliau mengangkat empat jarinya lagi, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang kedua, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung” (HR. Ahmad. Dishohihkan oleh Albany dan al-Arnauth)
9.    عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : موضع الإزار إلى أنصاف الساقين و العضلة ، فإذا أبيت فمن وراء الساقين ، و لا حق للكعبين في الإزار. (رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني)
Hudzaifah berkata, Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Tempat sarung adalah sampai pertengahan dua betis dan pada tonjolan dagingnya, tetapi jika kamu tidak menghendakinya maka (boleh) di bawah dua betis, dan tidak ada hak bagi mata kaki (tertutupi) sarung. (HR. Ahmad dan Nasa’i, dishohihkan oleh Albany­)
10.      عن زيد بن أسلم: كان ابن عمر يحدث أن النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا, فقال: من هذا؟ فقلت: أنا عبد الله. فقال: إن كنت عبد الله فارفع إزارك! قال: فرفعته. قال: زد! قال: فرفعته حتى بلغ نصف الساق. قال: ثم التفت إلى أبي بكر فقال: من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. فقال أبو بكر: إنه يسترخي [أحد شقي] إزاري أحيانا [إلا أن أتعاهد ذلك منه]. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لست منهم (رواه أحمد والبخاري)
Zaid bin Aslam mengatakan, Ibnu Umar pernah bercerita: Suatu ketika Nabi -shollallohu alaihi wasallam- melihatnya sedang memakai sarung baru. Beliau bertanya: “Siapakah ini?” Aku menjawab: “Aku Abdullah (Ibnu Umar)”. Kemudian Nabi -shollallohu alaihi wasallam- berkata: ”Jika benar kamu Abdullah, maka angkatlah sarungmu!”. (Ibnu Umar) mengatakan: “Aku pun langsung mengangkatnya”. (Nabi) berkata lagi: “Tambah (angkat lagi)!” (Ibnu Umar) mengatakan:  “Maka aku pun mengangkatnya hingga sampai pertengahan betis”. Kemudian Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya ”. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: “Sungguh salah satu dari sisi sarungku terkadang terjulur, akan tetapi aku selalu menjaganya agar ia tak terjulur”. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menimpali: “Kamu bukanlah termasuk dari mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari)
BANYAK SEKALI PELAJARAN YANG DAPAT KITA PETIK DARI HADITS-HADITS INI, diantaranya:
1. Hadits-hadits di atas, jelas sekali menggambarkan larangan keras bagi mereka yang ber-isbal. Terlebih-lebih bagi mereka yang telah mengetahui adanya larangan dalam hal ini, tapi masih saja melanggarnya… Semoga ilmu kita menjadi hujjah untuk kita, bukan malah menjadi bumerang bagi kita.
2. Kita perhatikan, hadits tentang larangan isbal ini diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, diantaranya adalah yang kami sebutkan di atas (tujuh sahabat): Ibnu Umar, Abu Dzar, Abu Sa’id al-Khudry, al-Mughiroh bin Syu’bah, Jabir bin Sulaim al-Hujaimy, ‘Amr bin Fulan al-Anshori dan Khudzaifah -rodhiallahu ‘anhum ajma’in-. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- dalam masalah ini dan betapa bahayanya perbuatan isbal ini.
3. Dari hadits-hadits di atas terkumpul banyak ancaman hukuman bagi mereka yang isbal, padahal satu saja dari ancaman hukuman itu, sebenarnya telah cukup untuk mencegah insan yang beriman (akan kepedihan siksa-Nya) agar tidak terjerumus dalam perbuatan isbal ini. Diantara ancaman-ancaman hukuman tersebut adalah:
a. Allah tidak mengajak bicara dengannya pada hari kiamat. (lihat hadits pertama)
b. Allah tidak melihatnya pada hari kiamat. (lihat hadits pertama)
c. Allah tidak membersihkan (dosa)nya pada hari kiamat. (lihat hadits pertama)
d. Baginya siksa yang pedih dari Allah dzat yang paling pedih siksanya. (lihat hadits pertama)
e. Sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang yang musbil. (lihat hadits ke-5)
f. Sesungguhnya Allah tidak suka terhadap perbuatan menyombongkan diri. (lihat hadits 6)
g. Semakin bertambah panjang isbalnya semakin bertambah pula dosanya. (lihat hadits ke-3)
4. Perbuatan isbal tidak hanya terbatas pada sarung, tetapi juga berlaku pada segala jenis pakaian, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- (lihat hadits ke-4).
Sedangkan penyebutan kata “sarung” dalam banyak lafal hadits, itu disebabkan karena sarung merupakan pakaian yang umum dipakai orang pada masa itu, sebagaimana dijelaskan oleh amirul mukminin fil hadits Ibnu Hajar al-‘asqolany dan yang lainnya (lihat Fathul Bari, jilid 13, hal 264, syarah hadits no: 5791).
5. Dapat disimpulkan bahwa sarung (atau pakaian lainnya) memiliki 4 tempat:
a. Tepat di pertengahan betis. Inilah tempat paling baik, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam-. (lihat hadits 3, 6, 8, 9)
b. Di bawah pertengahan betis hingga mata kaki. Ini merupakan tempat diperbolehkannya kita menjulurkan sarung, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-3: (ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين)
c. Berada tepat di mata kaki. Mulai batas ini kita dilarang menjulurkan sarung kita, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-9: (لاحق للكعبين في الإزار)
d. Di bawah mata kaki. Tidak diragukan lagi tempat yang terakhir ini adalah tempat paling jelas hukumnya, semakin bertambah juluran isbalnya semakin bertambah pula dosanya.
6. Letak pertengahan betis adalah sebagaimana diterangkan oleh Rasul -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-8, yaitu kira-kira empat jari di bawah lutut.
7. Orang yang musbil (sebagaimana kita pahami dari hadits ke-3) terbagi menjadi dua:
a. Orang yang musbil disertai dengan rasa sombong. Para ulama mengatakan bahwa isbal yang disertai rasa sombong adalah termasuk dosa besar, karena adanya ancaman hukuman khusus bagi mereka, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-7: (لا ينظر الله إلى عبد يوم القيامة يجر إزاره خيلاء)
b. Orang yang musbil tapi tanpa rasa sombong dalam hatinya. Orang yang keadaannya seperti ini juga mendapat ancaman hukuman (meskipun tidak termasuk dosa besar) karena ia masuk dalam sabda Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-3: (ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار) Intinya kedua kelompok ini tidak lepas dari ancaman hukuman yang tidak ringan. Siapakah dari kita yang tidak ingin dirinya selamat dari ancaman siksaan Allah yang maha pedih siksanya?
8. Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara isbal dengan rasa sombong, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-6: (وإياك وإسبال الإزار, فإنها من المخيلة, وإن الله لا يحب المخيلة)… Renungkanlah sabda beliau ini: “Karena sesungguhnya isbal adalah termasuk perbuatan sombong”, semoga Allah melapangkan hati kita, sehingga mudah menerima qoulul haq ini.
9. Bentuk betis yang kurang menarik menurut persepsi kita, bukanlah alasan untuk melanggar larangan isbal ini, sebagaimana kisah ‘Amr bin Fulan (lihat hadits ke-8).
*** Sebagian orang membolehkan isbal dengan alasan bahwa larangan tersebut adalah khusus bagi mereka yang sombong? Kita bisa sanggah dengan beberapa jawaban:
Dari sisi nash hadits: coba renungkan sabda rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pada hadits ke-3:  (ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار، من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه) “Apa yang lebih rendah dari mata kaki maka ia di neraka. (sedang) barangsiapa yang menyeret sarungnya karena takabur maka Allah tidak melihat kepadanya (pada hari kiamat)”. Dalam hadits ini Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- membedakan dua perbuatan yang berbeda dengan dua ancaman hukuman yang berbeda pula.
Hukuman Pelanggaran
Ancaman neraka Isbal dengan tanpa rasa sombong
Tidak dilihat Alloh pada hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosanya, dan siksa yang pedih baginya Isbal dengan disertai rasa sombong
Jadi, tidak bisa kita katakan bahwa ancaman itu khusus bagi mereka yang isbal dengan rasa sombong.
Coba renungkan uraian berikut ini…!
Jika ada bapak mengatakan pada anaknya: “Janganlah sekali-kali kamu merokok! Kalau kamu ketahuan merokok, maka hukumannya adalah tidak kuberi uang jajan selama seminggu… Apalagi kalau kamu ketahuan merokok sambil mejeng di mall, maka hukumannya adalah ku usir dari rumah ini!
Apa yang kita pahami dari larangan bapak ini, bolehkah kita mengatakan bahwa hukuman merokok tersebut hanya berlaku saat si anak mejeng di mall saja? Tentunya tidak!
Kami yakin, semua orang paham, bahwa bapak ini menginginkan dua hukuman yang berbeda untuk dua pelanggaran yang berbeda pula.
Hukuman Pelanggaran
Stop uang jajan selama seminggu Merokok di tempat selain mall
Diusir dari rumah Merokok di mall
Maka terapkanlah pemahaman ini pada hadits-hadits tersebut di atas karena tidak ada perbedaan antara keduanya.
Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa:
  • Bagi mereka yang isbal dengan tanpa rasa sombong maka hukumanya adalah neraka.
  • Sedang bagi mereka yang isbal dengan rasa sombong maka hukumanya adalah Alloh tidak bicara dengan mereka pada hari kiamat, tidak melihat  mereka, tidak membersihkan dosa mereka dan siksa yang pedih untuk mereka, sebagaimana tertera pada hadits pertama.
Dari sisi logika: ketika Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- mengingkari perbuatan sebagian sahabatnya yang isbal.
a. Seandainya perbuatan itu diperbolehkan oleh Islam tentu saja Rasul -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengingkarinya.
b. Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- langsung mengingkari perbuatan isbal tersebut, tanpa menanyakan dulu kepada sahabat yang diingkarinya, apakah ada rasa sombong dalam hatinya atau tidak? Ini menunjukkan bahwa ada dan tidaknya rasa sombong ketika isbal, tidak berpengaruh pada ke-haram-an perbuatan isbal tersebut.
c. Pantaskah kita su’udh dhon kepada para sahabat yang diingkari Rasul -shollallohu alaihi wasallam- ketika isbal, seperti ibnu umar, sufyan bin suhail dan ‘amr bin fulan, dengan mengatakan bahwa mereka semua pada saat itu melakukan isbal dengan rasa sombong! Sedang di sisi lain kita husnudh dhon kepada orang-orang zaman sekarang yang isbal ria, dengan kita katakan tidak ada kesombongan dalam hati mereka??? Wallahul musta’an.
*** Sebagian orang melegalkan isbal dengan menyamakan (baca: mensejajarkan) dirinya dengan Abu Bakar, yang sarungnya terjulur tanpa ada keinginan dari beliau sendiri.
Kita bisa sanggah ucapan ini, dengan beberapa jawaban:
1. Perbuatan beliau ini bukanlah karena keinginan beliau untuk ber-isbal. Para ulama telah menjelaskan, bahwa sebabnya adalah karena terlalu rampingnya badan beliau, hingga ikatan sarungnya selalu kendur ketika digunakan untuk berjalan atau kerja yang lainnya.
2. Juluran sarungnya Abu Bakar ini tidak terjadi pada seluruh bagian sarung, tapi hanya terjadi pada salah satu sisinya saja, sebagaimana lafal haditsnya (إنه يسترخي أحد شقي إزاري)
3. Juluran sarung Abu Bakar ini tidak terjadi secara terus-menerus, tetapi hanya terjadi kadang-kadang saja, sebagaimana lafal haditsnya (إنه يسترخي أحد شقي إزاري أحيانا)
4. Abu bakar selalu menjaga sebisa mungkin agar sarungnya tidak terjulur, sebagaimana lafal hadits tersebut [إلا أن أتعاهد ذلك منه]
5. Seandainya saja isbalnya abu bakar ini terjadi pada kedua sisi sarungnya, dilakukan terus menerus, dan atas kehendaknya (dan ini semua tidak mungkin terjadi), maka sesungguhnya istidlal dengan perbuatan Abu Bakar untuk melegalkan isbal adalah istidlal yang sangat lemah -wallahu a’lam- karena beberapa alasan:
a. Ini adalah istidlal dengan perbuatan (istidlal bil fi’li), padahal disana ada ucapan yang jelas melarang perbuatan ini, maka yang harus didahulukan adalah dalil yang berupa ucapan (dalil qouliy) yang jelas-jelas melarang isbal.
b. Banyaknya kemungkinan dan penafsiran dari para ulama yang berbeda-beda mengenai perbuatan abu bakar ini, sehingga menjadikan semakin lemahnya dalil fi’liy ini.
c. Banyaknya perbedaan antara isbalnya abu bakar -kalau bisa dikatakan seperti itu- dengan isbalnya orang di era ini.
d. Sungguh sangat sembrono orang yang mensejajarkan dirinya ketika ber-isbal, dengan umat Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- yang paling mulia ini. Tidakkah orang tersebut berusaha mencontoh perbuatan Abu bakar -rodhiallahu’anhu- dalam hal ibadahnya… amar ma’ruf nahi munkarnya… dakwahnya kepada tauhid… dan amal-amal ibadah lainnya???
Atau kalau mereka mau komitmen dengan keinginan mencontoh apa yang terjadi pada abu bakar ini, harusnya mereka mencontohnya dengan seratus persen, seperti: Hanya menjulurkan sebagian sisi sarung saja… hanya kadang-kadang saja dan tidak terus menerus… juga sebisa mungkin menjaganya agar sarungnya tidak terjulur…..!
e. Tak diragukan lagi, derajat kita tentunya jauh sekali di bawah generasi sahabat, apalagi dibandingkan dengan sahabat Ibnu Umar, Sufyan bin Suhail dan ‘Amr bin Fulan..! Jika kepada mereka saja Rosul -shollallohu alaihi wasallam- mengingkari perbuatan isbal itu, bagaimana seandainya perbuatan isbal itu muncul dari kita, orang yang jauh sekali di bawah mereka?! tentunya kita lebih pantas untuk tidak diperbolehkan melakukan isbal.
*** Sebab-sebab dilarangnya isbal telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
1. Karena dalam isbal terdapat isrof (mengahambur-hamburkan harta) yang dilarang.
2. Karena adanya tasyabbuh (menyerupai) wanita, dan rasul -shollallohu alaihi wasallam- melaknat laki-laki yang meniru wanita, baik dalam gaya maupun pakaiannya.
3. Karena tidak aman \ sulit menjaganya dari najis.
4. Karena isbal adalah pertanda kesombongan, dan Allah tidak menyukai perbuatan sombong.
Jika kita renungi sebab-sebab dilarangnya perbuatan isbal yang disebutkan oleh para ulama ini, ternyata kita dapati sebab-sebab tersebut tidak khusus bagi mereka yang ber-isbal dengan rasa sombong, tetapi terdapat pula pada mereka yang ber-isbal tanpa rasa sombong. Ini menunjukkan bahwa perbuatan isbal ini merupakan perbuatan yang terlarang, baik kita lakukan dengan rasa sombong atau tidak.
Dari hadits-hadits ini, kita juga dapat memetik pelajaran berharga tentang tingginya nilai-nilai Islam, ia benar-benar agama yang lengkap dan mencakup segala sisi kehidupan manusia.
Demikianlah artikel ini kami susun… Penulis yakin semua yang telah kami utarakan, telah banyak diketahui oleh para pembaca. Tapi tidak lain, tujuan kami hanya ingin mengamalkan firman ilahi  {وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين} juga sabda Rasul -shollallohu alaihi wasallam- (الدين النصيحة). Semoga usaha yang sedikit ini menjadi amal yang ikhlas hanya karena wajah Allah swt, dan semoga tulisan ini bermanfaat dalam kehidupan kita semua, amin.
والحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات، وسبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، سبحانك إني كنت من الظالمين

[1] Sejenis baju dari qibth (nama sebuah daerah di mesir) terbuat dari katun tipis dan putih (lih. An-nihayah)
[2] Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong: sarung dan rida’ jika terbuat dari satu jenis. dan siyaro adalah baju yang terdapat garis-garis dari sutra (lih. An-nihayah).